Kudam (Qudam) diambil dari bahasa Arab yang artinya terdahulu. Karena rumah ini adalah rumah yang sudah ada sejak zaman dahulu yang dibangun kembali di Sungai Kambut setelah rumah gadang sebelumnya yang terletak di Silombiak Kecamatan IX Koto. Rumah gadang ini mempunyai sejarah panjang yang berkaitan dengan Kerajaan Jambu Lipo yang berada di Lubuk Tarok Kabupaten Sijunjung. Sejarah panjang sampai berdirinya rumah kudam di Sungai Kambut melewati beberapa tempat persinggahan, dimana di setiap tempat persinggahan tersebut memiliki ceritanya masing-masing.

 

1. Asal mula dari Kerajaan Jambu Lipo di Lubuk Tarok, Kabupaten Sijunjung

Perjalanan panjang nenek moyang rumah kudam dimulai oleh keluarga Raja Kerajaan Jambu Lipo nan banamo "Si jambak si jambu lipo, batangkai ka Bukik Gombak babatang ka Saruaso". Perjalanan ini dilakukan sekira tahun 1779 dengan tujuan merantau atau mencari daerah baru. Perjalanan dilakukan oleh rombongan niniak yang terdiri dari :

1. Puti Ibad'ah/ Puti Ibadat (Sungai Kambut)

2. Puti Jamiah/Puti Rono 9 (Muaro Takung)

3 Puti Khairuljannah/Puti Ayu (Jambi)

Beserta sanak saudara lainnya yaitu Bagindo Malano, Tuanku nan Putiah, dan Tuanku nan Hitam. Keluarga Raja memulai perjalanan dengan menggunakan rakit menyusuri arah hilir sungai.

 

2. Pemberhentian di Bukik Cinduang (Sungai Kopu-Ampang Kuranji Silago)

Setelah melakukan perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, rombongan dari Jambu Lipo berhenti sejenak di Bukik Cinduang, lalu meneruskan perjalanan sampai ke Rimbo Kaluai (Sungai Kopu-Ampang Kuranji Silago). Meneruskan perjalanan kembali dan berhenti di Batu Panyosahan (Durian Simpai). Ketika berhenti di Batu Panyosahan ini, rombongan telah berpencar-pencar. Sebagian melakukan perjalanan ke arah mudik, dan sebagian lagi melanjutkan perjalanan menelusuri hilir sungai.

Puti Jamiah bertolak menuju Muaro Takung, sedangkan Puti Khairuljannah dan Puti Ibadat melanjutkan perjalanan menelusuri hilir sungai. Melihat situasi seperti ini, rombongan Puti Ibadat kemudian melanjutkan perjalanan dan berhenti di Lubuak Mansagu. Pada saat berada di Lubuak Mansagu, rombongan Puti Ibadat menetap dan membuka lahan persawahan. Sambil menunggu masa panen padi, rombongan pergi mencari sagu ke hutan dalam waktu yang cukup lama sehingga mengakibatkan terbengkalainya lahan persawahan yang sudah ditanami. Karena padi yang sudah ditanami terbengkalai ditinggal pergi mencari sagu, niniak (harimau) marah kepada cucunya, maka dibuanglah sagu yang sudah didapatkan tadi ke dalam sungai yang memiliki lubuk, oleh karena itulah tempat tersebut dinamakan Lubuk Mansagu. Kejadian ini membuat rombongan Puti Ibadat marah, kemudian melanjutkan perjalanan kembali menelusuri sungai dan berhenti di Silombiak (Koto Baru Silago).

 

3. Menetap di Silombiak (Koto Baru Silago)

Rombongan Puti Ibadat sampai di Silombiak pada tahun 1836. Sesampainya di Silombiak, Puti Ibadat menetap membangun rumah gadang sebagai tempat tinggal. Semenjak Rumah Gadang berdiri di Silombiak (Koto Baru Silago) Puti Ibadat di ganti namanya sebagai Puti Nagari. Puti Nagari menetap di Silombiak dan memiliki sawah ladang. Puti Nagari tidak melihat keberadaan Mandaro itam, maka dicarilah Mandaro itam keliling kampung dengan menggunakan kuda. Saat pencarian Mandaro itam tersebut bertepatan dengan warga kampung yang sedang menjemur padi hasil sawah mereka di halaman rumah dan dengan tidak sengaja padi yang sedang terjemur tersebut terinjak oleh kuda pencari Mandaro itam. Melihat padi mereka terinjak, maka berkatalah warga kampung tersebut "Tapijak padi kami Puti". Mendengar perkataan warga tersebut Puti Nagari merasa tersindir dan bersedih hati, maka dibukalah rumah gadang dan meninggalkan nagari Silombiak. Sebelum berangkat melanjutkan perjalanan kembali, terlebih dahulu dibuat ikatan buatan (perjanjian) antara Puti Nagari dengan Bagindo Rajo Lelo yang disaksikan oleh Datuak Tamajo. Isi perjanjian tersebut yaitu "Seandainyo hiduik kami indak berhasil di rantau kami kan babaliak ka Silombiak". Kemudian perjalanan dilanjutkan mengikuti hilir sungai. Selama perjalanan menelusuri hilir sungai, Puti Khairuljannah menghilang dan tidak diketahui keberadaannya. Setelah dicari barulah diketahui bahwa Puti tersebut telah melanjutkan perjalanan ke Sepucuk Jambe Sembilan Jurai (Jambi) Dari kejadian ini Puti Khairuljannah digelari Puti nan hilang dilaman. Sesampai di Jambi berganti nama Putri Ayu.

 

4. Perjalanan ke Sungai Kambut dan Berdirinya Rumah Kudam

Setelah berpisah dengan Puti Khairuljannah, rombongan Puti Nagari kemudian melanjutkan perjalanan menelusuri Batang Momong dan diteruskan ke Batanghari. Sesampainya di Tanggo Batu rombongan dicegat oleh Datuak Rajo Tuo, yaitu seorang datuak di sebuah nagari ditepi Sungai Batanghari yang diketahui nagari tersebut bernama Sungai Kambut. Nagari tersebut pada saat itu belum memiliki Raja untuk memimpin, karena mengetahui rombongan yang dicegatnya merupakan keluarga Kerajaan Jambu Lipo maka Datuak Rajo Tuo meminta Puti Nagari untuk menjadi raja di daerahnya. Dari pertemuan tersebut terciptalah kesepakatan antara Datuak Rajo Tuo dan Puti Nagari melalui ikatan buatan (perjanjian) "Tobiang ditingkek jo janji, kampuang di hunyi jo buatan". Melalui kesepakatan tersebut Puti Nagari mengajukan beberapa permintaan kepada Datuak Rajo Tuo yaitu "Lahan basa untuak makan, lahan koriang untuak parumahan, dan lahan omeh untuak ka hiduik". Lalu permintaan tersebut dikabulkan oleh Datuak Rajo Tuo melalui perkataan "Dimano adonyo Datuak Rajo Tuo disitulah Puti barado, kok mamancuang indak bahinggo kok malompek indak tasondak, Puti lah Rajo disiko". Sejak saat itu sekira tahun 1841, Puti Nagari disahkan menjadi Raja di Sungai Kambut.

Dalam melaksanakan perannya sebagai Raja di Sungai Kambut, Puti Nagari sebagai seorang raja perempuan dibantu oleh saudaranya yang sama-sama melakukan perjalanan dari Jambu Lipo sebelumnya yang diberi gelar Bagindo Malano. Bagindo Malano membantu Puti Nagari untuk mewakili urusan kerajaan dan sebagai penyambung lidah dari Raja dalam perundingan dan musyawarah.

Ketika menjalani peran sebagai Raja di Sungai Kambut. Puti Nagari menikah dengan Sutan Timpalan (Tuanku Sati) Rajo Pulau Punjung. Dari pernikahan tersebut lahirlah tujuh orang anak yaitu, Puti Bulian, Puti Khodijah, Puti Jagobari, Puti Komisi, Puti Lembang Alam, Bujang Sutan Pamikek Dan Gadih Puti Tuneh. kemudian berangkat Puti Nagari bersama Tuanku Sati ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji, sebelum berangkat Puti Nagari menunjuk anak pertamanya yaitu Puti Bulian menggantikan perannya sebagai Raja Sungai Kambut. Sejak keberangkatan ke tanah suci tersebut, Puti Nagari dan Tuanku Sati tidak pernah pulang kembali, yang kemudian diketahui telah meninggal di Mekkah. Sejak saat itu Puti Bulian yang menjadi Raja di Sungai Kambut.