Candi-candi yang berlatar belakang Hindu/Budha di Kompleks Candi Pulau Sawah ini merupakan bukti eksistensi Kerajaan Mālayu Dharmasraya. Mengingat banyaknya temuan dan tinggalan sejarah kepurbakalaan pada kompleks ini, diasumsikan lokasi ini merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Mālayu Dharmasraya. Pada kompleks ini ditemukan berbagai macam temuan baik berupa candi, arca ( sebagai sarana pemujaan ), keramik maupun artefak lainnya.

Berbicara mengenai Dharmasraya pada periode klasik (Hindu-Buddha) tidak terlepas dari sejarah panjang Kerajaan Mālayu Kuno yang sudah Berjaya sekitar abad ke-7 M hingga abad ke-14 M. Dalam sejarah Indonesia, nama Kerajaan Mālayu termasuk salah satu babak sejarah kuno yang menarik untuk dibahas.

Untuk pertama kalinya nama Mālayu disebut dalam berita Cina masa Dinasti Tang (618-906) yang menyebutkan adanya utusan dari Mo-lo-yeu ke Cina pada tahun 644 M dan 645 M. (Sumadio et al. 2008:102). Berita selanjutnya mengenai Mālayu didapatkan dari catatan pendeta Buddha dari Cina yang bernama I-tsing. Pada tahun 672 M. I-tsing ketika melakukan perjalanan dari Kanton(Cina) ke India, ia singgah di She-li-fo-she, lafal Cina untuk Śrīwijaya, untuk mempelajari sabdavidya (= tata bahasa) Sanskerta. Menurut I-tsing ada sekitar 1.000 pendeta di She-li-fo-sheyang menguasai pengetahuan agamanya seperti pendeta-pendeta di Madhyadesa (India). Setelah enam bulan tinggal di Śrīwijaya, I-tsing melanjutkan perjalanannya selama lima belas hari ke Mo-lo-yeu dan ia tinggal di Mo-lo-yeu selama dua bulan, kemudian ia melanjutkan perjalannya ke Kedah. Pelayaran dari Mo-lo-yeu pun memakan waktu lima belas hari dan ia tinggal di Kedah selama lima belas hari. Pada bulan kedua belas ia berlayar dari Kedah ke Nalanda dan perjalananya dengan kapal laut ini memakan waktu dua bulan. Pada tahun 685, I-tsing kembali dari Nalanda dan singgah lagi di Kedah. Kemudian pada musim dingin ia berlayar ke Mo-lo-yeu yang telah menjadi She-li-fo-she, dan tinggal di sini sampai pertengahan musim panas, lalu ia berlayar selama satu bulan menuju Kanton (Takasusu 1986;Sumadio et al, 2008:102-103). Dari catatan I-tsing tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum tahun 685 M. Kerajaan Mālayu telah ditaklukkan Śrīwijaya (Sumadio et al. 2008:103).

Di dalam beberapa sumber dapat diakui bahwa antara kerajaan Mālayu dan Kerajaan Sriwijaya sering membingungkan. Kerancuan-kerancuan ini terjadi dalam hal kronologi dan wilayah kerajaan. Seperti dimaklumi kerajaan Mālayu dan kerajaan Sriwijaya memiliki masa perkembangan yang relatif sama waktunya, dan memiliki wilayah kerajaan yang hampir bersamaan secara geografis.

Dari sumber-sumber tertulis yang ada, terutama berita Cina, dapat diketahui suatu fase dalam sejarah kerajaan Mālayu yang merupakan fase pendudukan oleh Sriwijaya. Fase pendudukan ini pada suatu ketika berakhir dan kerajaan Mālayu merdeka kembali. Dengan demikian dapat diketahui bahwa ada tiga fase delam sejarah perkembangan kerajaan Mālayu, yaitu: fase I adalah fase awal, sekitar pertengahan abad ke-VII atau tahun 680 masehi. Fase ke II, masa pendudukan kerajaan Sriwijaya, kejadian ini sekitar tahun 680 sampai pertengahan abad ke-11. Fase ke III, adalah masa akhir kerajaan Mālayu, sekitar pertengahan abad ke-11 sampai akhir abad ke-14 dan awal abad 15 ( Djafar, 1992: 25).

Kerajaan Mālayu merupakan sebuah kerajaan yang diangggap penting. Eksistensi kerajaan ini selalu diakui oleh beberapa kerajaan. Sebuah kerajaan besar di Nusantara yang mempertahankan keberadaannya sebagai kerajaan, seperti halnya kerajaan Srwijaya dan Majapahit. Dalam kitab Negara kertagama menyebutkan, Mālayu lebih dahulu dan menyebutkan sebagai sebuah Negara terpenting dari sebuah negara bawahan Majapahit. Wilayah kekuasaan kerajaan ini meliputi seluruh daratan pulau Sumatera. Beberapa daerah yang merupakan "bawahan" Mālayu seperti Jambi, Dharmasraya, Kandis dan Minangkabau berlokasi di daerah Sungai Batanghari. Karena disebutkan yang pertama, agaknya Jambi merupakan tempat yang penting. Pada waktu itu mungkin merupakan sebuah bandar yang penting dan bekas ibu kota kerajaan. Pada masa Majapahit, ibukota kerajaan Melayu sudah berlokasi di Dharmasraya yang lokasinya di daerah hulu sungai Batanghari (Budi Utomo, 1992: 24).

Menurut de Casparis, Sriwijaya dan Mālayu merupakan dua nama yang berbeda dengan kerajaan yang sama atau tingkat kesejarahannya yang berbeda. Mālayu ada sebelum abad ke-7M (kira-kira 680 Masehi), sedangkan Sriwijaya dari mulai tahun itu sampai pertengahan atau akhir abad ke-11 (Istiawan, 2011:6). Ditambahkan pula, Lapian berpendapat bahwa selain informasi I-tsing, berita Cina yang penting juga tentang kerajaan Melayu dan Sriwijaya adalah berasal dari Yi-Jing dari abad ke VII, ia menyebutkan pula nama-nama tempat lain di Nusantara, hal ini menunjukan pengetahuan mereka tentang kepulauan Indonesia telah meluas sampai ke timur. Ada beberapa tempat yang disebut di samping Sriwijaya dan Melayu, misalnya Po-lu-shi(Barus), He-ling, Po-li (beberapa pakar ada yang menyebut nama ini berada di Jawa dan di Bali), serta Fo-shi-bu-luo yang diperkirakan berada di Kalimantan Barat. Sehubungan dengan nama Fo-shi-bu-luo, dapat ditarik kesimpulan bahwa ini agaknya telah masuk dalam orbit shi-lifo-shi atau Sriwijaya sebagaimana terdapat kemiripan nama.

Selama kira-kira empat (4) abad ini dikuasai oleh kedatuan Srwijaya, akan tetapi sejak abad ke-II dominasinya atas pelayaran di sini mulai tantangan dari beberapa kekuatan tandingan. Di sebelah timur telah muncul kekuataan baru di bawah Airlangga, sedangkan di sebelah barat ada tantangan dari kerajaan Cola di India Selatan. Sekitar tahun 1024-1025 armada Cola menyerang Sriwijaya. Masa kekacauan yang terjadi sesudahnya, memunculkan berbagai kekuatan baru disini (Lapian, 1992: 4).

Kebangkitan Kerajaan Mālayu tidak bisa dilepaskan dari kemuduran Kerajaan Sriwijayayang sempat berjaya dan berperan penting dalam perdagangan di Selat Malaka. Ekspedisi militer yang dilakukan oleh Kerajaan Koromandel dibawah perintah Rajendra Cola tahun 1025 Masehi untuk menyerang pusat-pusat perdagangan di Selat Malaka berimbas pada eksistensi Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang mulai abad 7-11 M, sehingga memberikan peluang bagi Kerajaan Mālayu (Jambi) untuk bangkit kembali.

Sumber Cina menyebutkan bahwa antara tahun 1079-1082 M. ibukota Kerajaan Sriwijaya pindah dari Palembang ke Jambi dan utusan yang dikirim ke Cina tahun 1079 Masehi dan 1088 Masehi diketahui berasal dari Zhanbei (Jambi). Walaupun, Kerajaan Melayu telah berhasil menyingkirkan Palembang. Namun, perubahan pola perdagangan yang terjadi abad 11-13 Masehi tidak terlalu menguntungkan Kerajaan Mālayu karena tidak pernah meraih kembali status yang pernah dipegang oleh Palembang sebagai penguasa mutlak di Selat Malaka.

Pada awal abad ke XI Masehi, Mālayu berkuasa dengan ibu kotanya berada di Chanpei (Jambi), sehingga kadangkala penyebutan "San-fo-ch'i" pada masa itu identik dengan nama Jambi. Utusan dari Jambi ke Cina terjadi pada tahun 1079 M, 1084 M, 1090 M, dan 1094 M. Pengiriman itu terjadi pada saat Jambi sudah lebih berkuasa sebagai maharaja di bagian Sumatera. Pengiriman tersebut bersifat politis, yaitu untuk mendapat pengakuan dari Cina. Kemudian, hubungan bilateral ini menghasilkan pengakuan dari pihak negeri Cina tahun 1156-1178 M, bahwa pihak Cina penguasa Jambi dianggap sebagai " raja San-fo-ch'i". Utusan Jambi ke Cina terakhir pada tahun 1178 Masehi ketika Chou-Ch'u-fei menggambarkan menggunakan kekuataanya untuk melindungi pelabuhan dagangnya. Chou-ch'u-fei mengatakan bahwa San-foch'i adalah entreport yang paling penting, yang menarik bagi para pedagang Cina pada akhir abad ke-12 Masehi (Sasmita, 1992: 321).

Informasi tentang perdagangan di Jambi dengan dunia luar dalam wilayah Jambi, sejauh ini terekam baik dalam sumber dari berita asing yaitu Cina dan Arab. Dari catatan Cina dan Arab dapat diperoleh tentang gambaran perdagangan di Jambi berkaitan dengan komoditi yang di perlukan oleh bangsa asing. Berita Cina merupakan sumber informasi yang terlengkap. Sumber Cina mencatat bahwa Jambi pada umumnya dikenal dengan penghasil bahan-bahan berharga yang sangat diminati pasar dunia. Diantara bahan-bahan itu adalah emas, getah, damar, kemenyan, kayu, gading gajah, cula badak, madu, hasil tambang, hasil perburuan dan perkebunan. Komoditas ini digunakan sebagai bahan untuk keperluan kesehatan, makanan dan minuman, wewangian, perhiasan, pembuatan perkakas, eksotimse dan alasan-alasan yang berhubungan dengan sistem kepercayaan bangsa Cina (Atmojo, 2001: 145).

Kesinambungan hubungan Mālayu (Jambi) dengan Cina pada masa akhir masa Dinasti Song dapat kita kaitkan dengan penemuan gong perunggu bertulisan Cina yang ditemukan di Candi Kembar Batu, Muara Jambi, Provinsi Jambi yang isinya:

"Tahun keempat dari masa pemerintahan Song (1231), bulan ketujuh, hari kedelapan empat (atau dua puluh delapan = 23 Agustus 1231 atau 27 Agustus 1231), ketika Menteri Hung ditunjuk mengurusi urusan dalam (dari Ibu kota atau Provinsi) ia memperoleh dua buah gong besar dari perunggu untuk gudang persenjataan" (Wolters, 1970: 61).

Selain temuan gong tersebut, temuan keramik mulai dari Dinasti Sung (abad XI M) pada candi-candi di Muaro Jambi dan sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari.

Penguasaan Mālayu di daerah Jambi pada masa-masa berikutnya beralih ke daerah hulu, yaitu Dharmāśraya, Sumatera Barat.[1] Prasasti Dhamrāśraya (1208 Ś /1268 M) yang dulis dengan huruf Jawa Kuno dan dalam bahasa Sansekrta dan Melayu Kuno, merupakan dokumen pertama yang menyebut nama Dharmāśraya, yang terletak di tepi Sungai Batanghari di Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Sawahlunto/Sinjunjung, Sumatera Barat.

Pemindahan pusat pemerintahan ke Dharmāśraya dapat ditelusuri berdasarkan pada Prasasti Dharmāśraya yang dipahatkan pada lapik arca Amoghapāśa. Alas kaki arca tersebut ditemukan di wilayah Padangroco, (Jorong Sei. Langsek, Kenagarian Siguntur, Kec. Sitiung) sementara arca Amoghapāśa ditemukan di situs Rambahan (Jorong Lubuk Bulang, Nagari IV Koto Pulau Punjung, Kec. Pulau Punjung).

Keberadaan Prasasti Dharmasraya erat kaitannya dengan ekspedisi yang dilakukan tahun 1275 raja Krtanegara mengirimkan tentaranya ke Mālayu yang kemudian dikenal dengan PaMālayu (Poesponegoro, 1993: 83). Peristiwa "penundukan" yang disebut PaMālayu itu telah banyak ditafsirkan oleh para ahli sejarah kuno. Kebanyakan ahli sejarah kuno cenderung mengikuti teori yang dikemukakan oleh Krom dalam Hindoe-Javaansche Geschiedenis (Krom,1931: 335-336). Krom menyebutkan bahwa Krtanegara memang berhasil menaklukan

Sumatera dibuktikan dengan adanya sebuah prasasti beraksara Jawa Kuno yang dipahat pada bagian alas arca Amoghapāśa yang ditemukan di Jorong Sungai Lansek Kabupaten Dharmāśraya, Sumatera Barat. Prasasti tersebut berisi pemberian hadiah berupa arca Amoghapasa yang dihadiahkan Krtanegara kepada raja Tribuanaraja Mauliwarmadewa di Suwarnabhumi di tahun śaka 1208 (1286 M). Arca Amoghapasa dibawa dari Jawa Timur ke Sumatera agar didirikan di Dharmāśraya, sehingga segenap rakyat bhumi Mālayu dan terutama Raja Śrīmat Tribuanaraja Mauliwarmadewa, dengan germbira menerima hadiah tersebut.

Berdasarkan data Prasasti Dharmaśraya dapat diperkirakan bahwa Dharmāśraya merupakan daerah yang ramai dan penting, sehingga Arca Amoghapāśa yang dikirim Krtanegara sebagai tanda persahabatan perlu didirikan di Dharmāśraya. Pendirian arca tersebut tentunya penuh dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut cukup ramai dan dapat dikunjungi atau diperhatikan oleh sebahagian besar penduduk Mālayu, yang tentu dekat dengan tempat tinggal raja (istana). Menurut Kozok, Prasasti Amoghapāśa yang dikirim oleh Krtanegara untuk ditegakkan di Dharmāśraya merupakan petunjuk bahwa pada saat itu, ibu kota Kerajaan Mālayu sudah dipindahkan dari Muara Jambi ke Dharmāśraya. Peristiwa ini dikaitkan dengan ancaman serangan dari Kubilai Khan, dan kehadiran pasukan Sukhotai di wilayah Semenanjung (Kozok, 2006: 18-19).

Dharmasraya dahulunya pernah menjadi ibu kota kerajaan Mālayu Kuno sebelum kemudian dipindahkan di daerah pedalaman yaitu Saruaso. Pemindahan tersebut terjadi di era pemerintahan Adityawarman. Arca Amoghapāśa yang ditemukan di Rambahan pada sekitar tahun 1800-an (Krom 1912:48) memberikan petunjuk kepada kita bahwa pada tahun 1347 M yang berkuasa di daerah Mālayu adalah Śrī Mahārājā Ādityawarman, upacara yang bercorak tantrik, pembuatan sebuah arca Buddha, dan pemujaan kepada Jina. Informasi yang terdiri dari 27 baris itu dipahatkan di bagian belakang arca Amoghapāśa yang dikirim oleh Kŗtanagara. Berdasarkan isi prasasti ini para sarjana beranggapan bahwa pada tahun 1347 M merupakan tahun awal pemerintahan Ādityawarman di Mālayu.

Pemerintahan Adityawarman merupakan era baru setelah runtuhnya Singhasari dan munculnya kerajaan Majapahit. Majapahit sering diagungkan sebagai kerajaan besar yang menyatukan seluruh Nusantara, namun interpretasi tersebut agaknya tidak dapat dipertahankan, dan malahan banyak sejarawan yang beranggapan bahwa Majapahit tidak berhasil memperluas pengaruh sebagaimana dilakukan Singosari dibawah Kertanegara.

Pemugaran pada Candi Pulau Sawah I dan II dilakukan secara bersamaan pada tahun 2003 oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Sumbar Riau.